SOEGIJA, Film Layar Lebar Pertama Studio Audio Visual PUSKAT Yogyakarta***Kamera untuk Masyarakat Adat***Peluncuran Film Dokumenter*** "

cari isi blog ini anda tulis kata kuncinya dan di search

Senin, 18 April 2011

Jelang Hari Bumi, Putar Film Dokumenter




Pekan Hari Bumi itu dimulai hari ini dengan tema 'Bumi Papua Makin Panas'.

Rabu, 13 April 2011, 23:24 WIB


VIVAnews - Memperingati Hari Bumi yang jatuh pada 22 April 2011 mendatang, diadakan Pekan Hari Bumi yang berpusat di Freedom Institute Jakarta. Pekan Hari Bumi itu dimulai hari ini dengan tema 'Bumi Papua Makin Panas'.

"Hari ini kami juga memutar beberapa film dokumenter yang semuanya bertemakan tentang perjuangan penegakan lingkungan hidup di Papua," kata Revitriyoso Husodo, Direktur Bumi Bagus Production saat ditemui di Freedom Institute, Jalan Proklamasi 41, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 13 April 2011.

Pemutaran diawali dengan film berjudul 'Koyaanisqatsi' karya Godfrey Reggio. Setelah itu ada tiga film lain yang lebih menyorot tentang kekayaan alam Papua yang 'dicuri' demi kepentingan industri dan ekonomi.

"Karena ini adalah ancaman baru yang sedang terjadi di Papua. Kerusakannya akan terjadi sangat massal, karena adanya privatisasi yang sangat kebablasan ya," ujar Revitriyoso.

Tiga film dokumenter yang berkisah tentang Papua adalah 'The Lost Frontier' (Telapak&EIA), 'Up For Grabs' (Telapak&EIA), 'Di Ambang Subuh Zaman Baru' (CII).

Film-film tersebut memang menyorot keindahan Raja Ampat yang terancam rusak, penyelundupan kayu Merbau, dan lahan yang mulai berkurang karena masuknya industri. Pemutaran film tersebut memiliki target sendiri menjelang dalam Pekan Hari Bumi.

"Targetnya, membangun kesadaran masyarakat bahwa isu lingkungan itu tidak kalah pentingnya. Biar mereka sadar dan melihatnya dari sudut pandang masing-masing," kata Revitriyoso.

• VIVAnews


http://kosmo.vivanews.com/news/read/214637-jelang-hari-bumi--putar-film-dokumenter


Tiga Film Dokumenter Sedang Dinilai di TVRI Jambi

Tribunnews.com - Selasa, 12 April 2011 12:03 WIB

Tribun Jamb/Yoseph Kelik
Ruang bagian siaran di Gedung Stasiun TVRI Jambi di Telanaipura, menjadi tempat pemutaran dan penjurian, bagi tiga film dokumenter, Selasa (12/4/2011)

Laporan Wartawan Tribun Jambi, Yoseph Kelik
TRIBUNNEWS.COM, JAMBI - Ruang bagian siaran di Gedung Stasiun TVRI Jambi di Telanaipura, menjadi tempat pemutaran dan penjurian, bagi tiga film dokumenter, Selasa (12/4/2011), dari pukul 10.30. Film-film ini mengangkat cerita tentang budaya dan sejarah lokal Jambi.

Film pertama yang diputar, Sinar Terang Tanah Sejarah, karya BEM STISIP NH, yang bertutur tentang Mukhtar Hadi alias Borju, pelopor dan pengajar Sekolah Alam Raya. Sebuah sekolah non formal bagi anak-anak seputaran Desa Muara Jambi. Sekolah ini berupaya mengajarkan kecintaan terhadap alam maupun situs Candi Muara Jambi kepada anak-anak usia SD dan awal SMP di sana.

Film kedua berjudul Simpang Sado Kota Jambi, karya Rano Rahman, yang bercerita tentang geliat para sais sado di Kawasan Pasar Jambi. Film ketiga, karya Iman Kurnia, yang berjudul Sejarah Islam di Jambi dari Perspektif Pendidikan, berbicara tentang daerah Seberang Kota Jambi.

Pemutaran film ini merupakan bagian akhir dari Lomba Film Dokumenter HUT ke 16 TVRI Jambi yang berlangsung 1 Maret sampai dengan 11 Maret. Dalam lomba bertema human interest serta kebudayaan Jambi.

Menurut panitia lomba, Suaebatul Aslamiah, sebenarnya ada dua lagi film yang mendaftar sebagai peserta, tetapi tidak merampungkan karyanya yakni Senja di Ujung Jabung dan Irwansyah Sama Dengan Iyet.

Untuk penjurian lomba ini, dewan juri terdiri dari tiga orang. Mereka adalah Adi Yuliandri dari TVRI, Jaafar Rasuh (Kepala Taman Budaya Jambi), serta Nazwan Iskandar (Direktur Langkan Budaya Taratak). (*)

Editor: Harismanto | Sumber: Tribun Jambi
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com

http://www.tribunnews.com/2011/04/12/tiga-film-dokumenter-sedang-dinilai-di-tvri-jambi






JAKACU75BOYAOGE




Potret Kehidupan Masyarakat di Pedalaman Kalimantan


Thursday, 07 April 2011 11:33

Dari Road Discussion Film Batas dan Potensi Daerah Perbatasan
Potret Kehidupan Masyarakat di Pedalaman Kalimantan




REREN INDRANILA, Jogja Kenyataan inilah yang membuat pelaku film mencoba mengangkat kehidupan masyarakat daerah perbatasan. Dimulai dengan film dokumenter berjudul Cerita dari Tapal Batas yang menjadi pengantar sebuah film besutan sutradara Rudi Soejarwo, Batas. Kedua film tersebut memang berbeda. Tapi, ada satu benang merah yang ingin disampaikan kepada masyarakat, yakni menumbuhkan sebuah rasa nasionalisme.
Kemarin (6/4), berlangsung road discussion film Batas dan Potensi Daerah Perbatasan yang digelar di Fakultas Pertanian UPN Veteran Jogjakarta. Hadir sebagai pembicara, produser sekaligus pemain film tersebut Marcella Zalianty, Jajang C Noer, dan produser Ichwan Persada. Hadir pula, para pelaku Ekspedisi Garis Besar Nusantara yang melakukan penjelajahan ke 92 pulau terdepan.
Menurut Marcella Zalianty, road discussion yang digelar di Jogja ini bertujuan menggugah rasa nasionalisme generasi muda. Dalam acara itu diputar pula film dokumenter Cerita dari Tapal Batas. Film ini menceritakan perjuangan seorang guru bernama Martini yang bertugas di daerah perbatasan. Film dokumenter ini merupakan pengantar untuk menuju film yang diproduserinya berjudul Batas.
’’Kedua film ini berbeda, tak ada bagian film yang saling berkaitan. Film dokumenter ini sebagai pengantar saja. Kalau film Batas menceritakan perjuangan seorang wanita Dayak baru akan diputar di bioskop bulan Mei 2011 mendatang,’’ ujar putrid sulung aktris Tetty Liz Indiarti ketika jumpa pers kemarin.
Marcella menjelaskan, film yang juga dibintanginya ini ingin memperlihatkan sebuah potret kehidupan masyarakat yang tinggal di pedalaman Kalimantan yang berbatasan dengan negara Malaysia. Proses pembuatan film ini membutuhkan waktu sekitar 25 hari. Tapi untuk proses persiapannya sekitar satu tahun.
Kendati terlihat seperti film berat, Marcella meyakinkan bahwa film ini memiliki unsur hiburan dan pendidikan di dalamnya. Ada kisah percintaan yang disisipkan dalam film ini.
’’Kala itu saya datang ke Kalimantan Barat menjadi pembicara terkait perbatasan. Saya sempat melihat-lihat ke daerah pedalaman yang berada di wilayah perbatasan. Ternyata di sana akses menjadi masalah utama, mulai dari akses transportasi, pendidikan, kesehatan. dan lainnya. Dari situ muncul keinginan untuk mengungkapnya melalui film,’’ terang kakak kandung Olivia Zalianty ini.
Jajang C Noer menambahkan, proses pembuatan film sangat menyenangkan karena orang pedalaman ternyata sangat ramah. Bahkan kesan norak dan kampungan tak terlihat sedikit pun pada mereka.
Kendala yang dihadapi di sana jutsru lebih pada infrastruktur, karena jalan di sana belum beraspal. Bahkan di kala hujan, jalanan tak bisa dilewati oleh mobil. Selain itu, di sana belum ada listrik dan tak ada sinyal handphone. Para pemain dan kru film harus berjalan ke bukit hanya untuk menelepon kerabat.
’’Orang-orang di sana sangat santun. Bahkan saat kita akan pulang, mereka menggelar pesta perpisahan khusus untuk kami. Kalau bagi saya, kendala lain yang saya alami pada peran yang saya mainkan, adalah tak mudah memerankan tokoh Dayak. Apalagi harus menyampaikan dengan logat Dayak. Yang jelas, film ini layak untuk ditonton,’’ imbuhnya berpromosi.
Dalam diskusi yang dihadiri ratusan mahasiswa dari berbagai universitas ini, ditampilkan juga paparan hasil Ekpedisi Garis Besar Nusantara. Tim ekspedisi melakukan penjelajahan ke 92 pulau terdepan di wilayah RI selama tiga tahun.
Menurut salah satu anggota tim Ekpedisi Garis Besar Nusantara Aat Suratin, ekspedisi ini untuk menggali potensi Indonesia sebagai negara bahari. Menurutnya, banyak sekali potensi laut Indonesia yang jutsru dikelola orang asing.
’’Dari hasil kami menjelajah ke pulau-pulau terdepan menggunakan kapal, ternyata banyak sarana umum yang tak berguna. Misalnya, terdapat kantor bea cukai yang dibangun di tengah hutan. Ada pula puskesmas yang tak memiliki tenaga kesehatan sehingga mangkrak begitu saja,’’ tuturnya. ***

http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=9127595420597532214&postID=4035642710238457335



Peluncuran Film Dokumenter Anak Autis Love Me As I Am

Jum'at, 01 April 2011 | 19:22 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Dalam memeringati Hari Autis Internasional pada 2 April, artis senior Christine Hakim membuat film dokumenter bertajuk Love Me As I Am (Buah Hati). Film berdurasi 45 menit ini mengisahkan kondisi sebenarnya dari kehidupan keluarga-keluarga yang memiliki anak penyandang autisme. Chirstine berharap film ini dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang autisme dan mengubah image negatif terhadap penyandangnya.
Berita terkait

* Awas Bahaya Silikon dan Kolagen!
* Angka Kelahiran Autis Semakin Meningkat
* Tikus Rumah di Bantul Positif Penyebab Lestopirosis
* Satu dari Tiga Wanita Bersedih Usai Bercinta, Kenapa?
* Ingin Langsing, Lakukan Posisi Bercinta Ini



“Masih banyak orang tua yang menyangkal bahkan menyembunyikan anaknya yang memiliki sindrom autis. Maka dengan film ini saya berharap persepsi masyarakar menjadi positif karena ternyata masing-masing dari mereka memang memiliki bakat yang luar biasa,” ujar Christine Hakim, produser film Love Me As I Am, saat konfrensi pers, Jumat siang tadi di Restoran Siuth Beauty, Jakarta.

Dengan metoda pendidikan yang baik, lanjut Christine, seorang penyandang autisme dapat dituntun menjadi musikus handal, seniman yang luar biasa, dan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan bermain piano klasik yang luar biasa dari seorang Michael Anthony, penyandang autis berusia 8 tahun.

“Michael mempelajari cara bermain musik dari mendengarkan kakaknya main sejak dia kecil. Sekarang kemampuannya telah melapaui kakaknya,” ujar Mentalia, Ibu Michael.

Dr Ricky Avenzora, Sutradara film Love Me As I Am, mengatakan tujuan dari film ini adalah membangun kesadaran masyarakat tentang autisme dalam bentuk pemahaman karakteristik dan juga empati sosial. Karena untuk menangani kasus autisme dibutuhkan peran aktif selain dari ahli medis, namun juga dari institusi pendidikan dan masyarakat umum.

“Tidak jarang dijumpai anak autis yang tidak boleh bersekolah di umum, atau bahkan boleh bersekolah namun orang tua siswa lainnya menolak adanya anak autis itu. Autis tidak boleh dibedakan,” ujar Ricky. RENNY FITRIA SARI


http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2011/04/01/brk,20110401-324543,id.html



Ditulis Oleh : jaka ~ Berbagi Informasi Film Dokumenter

Artikel Jelang Hari Bumi, Putar Film Dokumenter ini diposting oleh jaka pada hari Senin, 18 April 2011. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: Get this widget ! ::

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

terimah kasih atas komentar anda

JAKACU75
jakaboyaoge.blogspot.com

Move your mouse to go back to the page!
Gerakkan mouse anda dan silahkan nikmati kembali posting kami!## TERIMAH KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Copyright 2010 gubhugreyot.blogspot.com - All rights reserved