Sabtu, 22 Januari 2011 01:25
Ketika berbicara film dokumenter di Indonesia mungkin tidak sejelas kalau berbicara film fiksi. Bagi orang awam, film dokumenter adalah film hitam putih, dan juga film yang berbicara mengenai kenyataan tapi kemudian timbul pertanyaan mengenai seperti apa kenyataan itu. Sejarahnya, dokumenter itu sangat kelam sekali, berawal dari kolonialisme.
Ketika Belanda mulai memperkenalkan filmnya, yang sekarang dikenal dengan layar tancap di daerah Kebon Kacang, belakang Hotel Indonesia-Jakarta, merupakan film dokumenter pertama kali yang diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag.
Ketika film cerita yang di impor dari Amerika di putar pertama kali di Indonesia pada tahun 1905, film-film produksi pemerintah kolonial saat itu masih berupa film dokumenter. Saat itu banyak diproduksi film-film dokumenter yang tujuannya memang propaganda. Dalam hal ini film dokumenter itu bisa menjadi media pembelajaran yang bersifat pencerahan, tapi juga bisa memberikan pemahaman yang justru manipulatif. Misalnya, dari tujuan untuk memberikan visi baru atau pemahaman baru, tetapi sebenarnya film dokumentar bisa menjadi suatu upaya propaganda untuk memanipulasi fakta yang ada.
Pada perang dunia ke-2, Adolf Hitler (pemimpin NAZI Jerman, Red) sangat piawai dalam menciptakan film dokumenter menjadi satu mitos dunia. Sedangkan di Indonesia, film – film dokumenter Belanda jelas mempropagandakan keindahan Hindia-Belanda kepada rakyatnya sendiri, bahwa di Indonesia tidak ada penderitaan dan hidupnya bagai di surga. Itu contoh dari manipulatif film dokumenter menjadi tujuan propaganda.
Pada tahun 1905 ini juga mulai masuk film-film dari Cina (Tiongkok) melalui China Moving Picture. Dua film Tiongkok pertama adalah Li Ting Lang yang bercerita tentang revolusi di China dan Satoe Perempoean Yang Berboedi. Sebagai catatan seluruh film yang diputar hingga tahun tersebut masih berupa film bisu.
Film Indonesia pertama kali diproduksi pada tahun 1926 adalah film bisu. Pada tahun 1931, film Indonesia yang bersuara diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Pada tahun 1941, tercatat sebanyak 41 judul film yang diproduksi. Terdiri dari 30 film cerita dan 11 film yang bersifat dokumenter. Nama-nama Roekiah, Rd Mochtar dan Fifi Young sangat populer pada masa itu.
Di tahun 1942, produksi film anjlok. Hanya 3 judul film yang diproduksi. Hal ini tentunya berkaitan dengan masuknya pendudukan Jepang di Indonesia yang melarang aktivitas pembuatan film. Pendudukan Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidhoso) yang di dalamnya ada Nippon Eiga Sha yang mengurusi bagian film. Selama masa pendudukan Jepang inilah, film mulai secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda politik. Film yang diputar, selain film dokumenter Jepang yang menonjolkan “kegagahan” Jepang, juga film-film Jerman yang adalah sekutu Jepang. Film Amerika dilarang beredar. Namun pendudukan Jepang masih sedikit berbaik hati dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mempelajari teknik pembuatan film.
Kemudian masuk ke zaman Orde Lama. Di Zaman Orde Lama ini film dokumenter masih bersifat propaganda, tapi untuk tujuan atau membangun nasionalisme di Indonesia. Di Orde Baru, pada zaman ini film dokumenter juga masih bersifat propaganda dan itu sangat jelas, sehingga masyarakat umum sampai tidak tahu kalau itu namanya film dokumenter. Pada era ini, film dokumenter dipahami secara sempit sebagai film sejarah, film flora dan fauna, dan terutama film penyuluhan dan propaganda pemerintahan orde baru, yang mengisahkan melulu kesuksesan program-program pemerintah dan penanaman kebencian terhadap mereka yang tidak bersetuju dengan pemerintah.
Dalam perfilman di Indonesia di era ini, ada beberapa film yang berhasil membuat trauma kolektif yang panjang karena telah masuk kewilayah politik yang sangat kontrofersial. Bahkan beberapa film tersebut sempat menjadi rujukan bagi kebenaran sejarah oleh banyak kalangan. Sebut saja film Janur Kuning, Enam Jam di Yogja, G 30/S PKI dan Serangan Fajar adalah beberapa contoh film docudrama politik yang cukup kontrofersial. Bahkan Film Pengkhianatan G 30S/ PKI adalah salah satu film yang telah berhasil mempengaruhi publik selama bertahun-tahun. Film docudrama yang berduransi 271 menit tersebut semula berjudul Sejarah orde Baru. Namun karena beberapa alasan, judul tersebut diganti menjadi seperti apa yang selama ini diketahui.
Film Dokumenter Indonesia Modern
Jika meninjau Film Dokumenter Indonesia yang telah berkembang pesat dalam dasawarsa terakhir ini, di mulai pada akhir 1990-an film dokumenter bergerak secara dinamis, antara lain mewujud dalam bentuk film advokasi sosial-politik, film seni dan eksperimental, film perjalanan dan petualangan, film komunitas, dan terutama sebagai media alternatif di bidang seni audio-visual bagi anak muda, Film dokumenter mewujud menjadi satu genre seni audio visual yang memiliki sifat demokratis sekaligus personal.
Dengan ruang kreativitas yang terbuka luas, yang tidak terbatas sebagai produk industri media dan hiburan, film dokumenter memberi kesempatan kepada semua orang untuk menampilkan diri, baik sebagai film memunculkan karya yang unik, orisinil dan khas, yang tidak terkerangkeng oleh stereotype karya-karya film dari dunia industri hiburan. Dengan karakteristik yang demikian itu, film dokumenter menjadi karya yang bersifat alternatif, baik dari segi ideologi, isi, maupun bentuk, sehingga mampu menarik minat masyarakat umum dan terutama anak muda.
Jika sebelumnya pemutaran film dokumenter di TV, masyarakat lebih mengetahuinya sebagai film penyuluhan atau program penyuluhan, dan tidak mengetahui kalau itu film dokumenter yang berbentuk propaganda atau rekayasa dari film dokumenter, menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T Achnas membuat dokumenter seri berjudul ‘Anak Seribu Pulau’. Meskipun konsepnya film dan ditayangkan di televisi, film dokumenter tersebut merupakan nafas baru bagi dunia dokumenter di Indonesia. Film tersebut hanya di istilahkan saja dokumenter televisi dan dokumenter film.
Saat itulah Mira dan kawan-kawan mampu menembus hegemoni televisi untuk menayangkan film dokumenter ke seluruh televisi. Salah satu dobrakan yang perlu di acungkan jempol. Kemudian seorang Tino Sawunggalu membuat sebuah film dokumenter yang mampu menembus jaringan bioskop. Filmnya yang berjudul ‘Student Movement’ adalah sebuah film mengenai peristiwa Mei 1998.
Saat ini di Indonesia , film dokumenter memang masih dilihat sebagai proyek rugi, karena biaya pembuatannya besar tapi tidak bisa dijual. Proses pembuatannya minimal 1-2 tahun. Jadi hanya produser-produser yang idealis yang membuatnya. Biasanya yang mensponsori adalah lembaga donor luar maupun dalam negeri. Tayangan Discovery-National Geography dimana semua dokumenter ada di situ, sebenarnya dapat di jadikan inspirasi bagi Indonesia di mana mereka mau dan berani investasi di documenter. Point a view mereka adalah memiliki arsip visual mengenai dunia nantinya. Menjadi agak dramatis kalau anak cucu bangsa Indonesia ingin mengetahui atau menonton kesenian Dayak harus membeli di Discovery, karena Indonesia tidak memiliki dokumentasi visualnya lagi.
Dewasa ini di media televisi, film dokumenter memang menjadi semakin berkembang walau membuat rancu sendiri. Namun demikian masih ada juga yang tetap berada di jalurnya, dan mendistribusikan filmnya ke festival atau TV asing. Sebuah Festival yang cukup besar dan bergengsi di Belanda adalah International Documentary Festival Amsterdam (IDFA) yang menjadi pelopor festival dunia untuk dokumenter. Dalam Festival ini berbagai jenis kriteria penilaian untuk film dokumenter di berikan penghargaan.
Namun demikian, saat ini perkembangan Film Dokumenter Indonesia menjadi semakin dinamis yang di tandai dengan tumbuhnya komunitas – komunitas film di seluruh pelosok Nusantara. (adk/dari berbagai sumber)
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=816:film-dokumenter-berawal-dari-propoganda&catid=17:feature&Itemid=87
JAKACU75